Senin, 15 November 2010

RASANYA TIDAK ADIL

Anda mungkin pernah mendapatkan situasi dimana Anda berada pada posisi merasa tidak mendapat keadilan. Sebabnya bisa apa saja, mungkin di tempat kerja, ketika Anda merasa sudah mengabdi kepada bos Anda dan karena alasan subyektif yang Anda miliki kemudian memutuskan untuk mengundurkan diri atau tepatnya memajukan diri (ingin lebih maju kan?) tapi Anda merasa kecewa ketika mendapati bahwa pesangon yang Anda terima tidak sebanding dengan masa kerja Anda. Ada seorang teman yang “hanya” mendapatkan ucapan terima kasih 3 jt-an setelah bekerja hampir 15 tahun bukan sebagai tukang sapu lho tapi dilevel manajerial....



Bisa jadi Anda adalah seorang suami yang telah menikahi wanita yang Anda pilih sendiri secara sadar dengan segenap cinta yang Anda miliki saat itu dan telah mengarungi hidup bersama selama belasan tahun dan telah dikarunia putra/i yang menyenangkan lalu tiba-tiba Anda mendapati ternyata istri Anda selama ini masih merindukan cinta pertamanya. Saat bersama Anda yang dibayangkan adalah wajah orang lain, saat ini mungkin dunia terasa gelap, dada Anda sesak karena amarah yang memuncak akibat Anda merasa dikhianati, Anda mungkin mual & bisa saja muntah ketika nama sebuah kota disebutkan karena Anda ingat bahwa seseorang yang telah mencuri hari istri Anda tinggal di situ.... hmmm



Atau Anda adalah seorang guru yang telah mengabdi puluhan tahun di daerah terpencil namun sampai saat ini belum diangkat menjadi PNS, tunjangan yang Anda terima setiap bulan tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup Anda dan keluarga sehari-hari. Sementara Anda bekerja untuk membantu mencerdaskan/mendidik siswa (anak orang lain), namun Anda mungkin kesulitan menyekolahkan Anak sendiri ke jenjang yang lebih tinggi....ach



Lalu, Anda merasa kecewa, Anda merasa ini tidak adil.



Konon di dunia ini di “kerajaan” yang dibangun oleh manusia & mungkin juga jin kita tidak akan bisa menemukan keadilan yang sejati, kecuali bila raja yang memerintah di dunia patuh dan taat kepada Kerajaan Langit yang rajanya Maha Adil yang wilayah kekuasaanya meliputi seluruh alam (bukan hanya alam semesta lho..) yang memiliki pengawal terpuji dan penuh pengabdian (para malaikat) yang memiliki pasukan siap mengekskusi sesuai perintah-Nya (air, angin, api, gunung, binatang & malaikat) yang memiliki penjara (yang disebut neraka) untuk menghukum warga yang tidak patuh dan menyediakan surga bagi warganya yang mengabdi penuh cinta...



Keadilan yang Anda cari di sini, di dunia ini semu, Anda hanya akan lelah, bila Anda punya uang banyak mungkin Anda bisa mendapatkan keadilan yang Anda inginkan karena dikerajaan ini konon uang bisa membeli apa saja yang Anda inginkan.



Bila Anda dapat bersabar dengan “ujian” ini maka kelak dihadapan raja yang Maha Adil Anda akan peroleh keadilan sejati, cinta yang tidak bercampur dengan duka lara, bahagia yang tidak bercampur kesedihan. Jadi, jangan bersedih. Bukankah hidup di dunia ini hanya sesaat? Don’t worry be happy...



Lereng Gunung Merbabu, Klaten, 20 Oktober 2010

IKHTIAR MENGISI BEJANA CINTA


Badan saya terasa lelah karena semalam baru pulang dari luar kota tepatnya luar pulau, pesawat delay hampir 2 jam membuat saya sampai rumah sekitar pukul 1 malam. Namun kelelehan ini dapat segera terobati sesaat setelah menemui 2 putri saya yang dengan setia telah menunggu di rumah. Mereka adalah salah satu alasan saya menjalani hidup dengan semangat, sang kakak sudah 17 th pada September lalu sedang adik masih kelas 4 SD.



Esok hari, menyiapkan segala kebutuhan anak dengan maksud membantu memudahkan urusan mereka adalah sesuatu yang lazim dilakukan oleh setiap Ibu, namun karena kakak sudah menginjak dewasa maka hal itu harus mulai diarahkan pada proses untuk memandirikannya, maka setiap hari kami berbagi apa yang harus saya kerjakan dan apa yang harus mereka selesaikan sendiri.



Kita sebagai orangtua sering merasa sudah mencintai anak kita dengan melakukan atau lebih tepatnya memberikan semua yang kita pikir sebagai bukti mencintai mereka. Misalnya, memberikan mainan yang mahal, makan direstoran yang mahal, sekolah di sekolah terkenal atau pembantu yang siap melayani kebutuhan mereka dan lain sebagainya. Namun, apakah benar bahwa mereka merasa telah dicintai?



Ada satu pertanyaan yang sering terlintas namun tidak pernah berani saya tanyakan pada mereka, yakni “apakah kalian telah merasa dicintai oleh Bunda?” Saya yakin bahwa persepsi “mencintai” & “dicintai” antara saya sebagai orangtua dan mereka sebagai anak berbeda.

Menurut Garry Chapman dalam bukunya Five Love Languages mengatakan bahwa seorang anak menerima cinta melalui lima cara:

1. Cara pertama melalui waktu yang berkualitas; waktu yang berualitas tidak bisa tercipta tanpa adanya kuantitas. Jadi, bersyukurlah teman-teman yang lebih banyak memiliki waktu bersama anaknya. Tetapi memberi banyak waktu kepada anak tanpa adanya komunikasi yang baik dan kedekatan emosi bukanlah waktu yang berkualitas.
2. Cara kedua dengan kata-kata positif atau pujian dan dukungan; pujilah anak dengan tulus dan spesifik maka anak akan cenderung mengulangi perilaku positif tersebut. Siapa yang tidak suka mendapat pujian, dukungan dan penghargaan atas apa yang kita lakukan? Maka anakpun demikian.
3. Cara ketiga dengan sentuhan fisik; sentuhan dalam bentuk elusan di kepala, tepukan di punggung atau pundak, pelukan sayang, mengandeng anak saat berjalan atau tindakan apa saja yang menyentuh anak secara lembut, hangat dan penuh kasih sayang
4. Cara keempat dengan pelayanan; tidak berarti anak duduk manis lalu kita mengerjakan sesuatu untuk mereka, tapi membantu sewajarnya.
5. Cara kelima dengan pemberian hadiah; bukan berarti membelikan sesuatu yang mahal tetapi cukup membawakan makanan/camilan kesukaannya saat kita sedang keluar kota misalnya.

Menggunakan lima bahasa cinta di atas sesuai kebutuhan dengan tepat akan menjadikan bejana cinta anak-anak kita terisi terus menerus sehingga anak akan tumbuh dan berkembang dengan optimal.



Kalau anak kita menunjukkan perilaku yang “kadang” tidak kita harapkan itu adalah tanda bahwa isi bejananya berkurang, perlu kita fahami bahwa bisa jadi “kenalan” anak kita adalah cara mereka untuk memberi tanda pada kita dan kalau kita tidak peka maka mereka akan menampakkan perilaku yang kemudian membuat kita dengan mudah memberi label negatif pada putra/putri kita.



Nah, dengan kesadaran ini, maka sore hari ketika 2 putri saya hendak makan malam sang kakak dengan tenang berkata: “ Bun, makan malam ini akan lebih enak kalau Bunda yang menyuapi kami”, sesaat saya terkejut dan hampir saja mengeluarkan kata penolakan, bersyukur saya segera sadar bisa jadi hal itu dia sampaikan karena beberapa hari saya tidak bersama mereka. Maka, jadilah sore itu saya menyuapi kedua putri saya –hal yang jarang terjadi- sebagai ikhtiar mengisi bejana cinta mereka.



Dan akhirnya, ketika ada seorang sahabat meng-sms- saya dan menanyakan apa yang sedang saya lakukan saat week end ini saya katakan bahwa barusan saya menyuapi 2 gadis saya... hmmm



APA UNTUNGNYA AKU JADI ANAK BUNDA..


“Apa untungnya aku jadi anak Bunda?” Sebuah pertanyaan yang keluar dari bibir mungil anak bungsuku tepatnya ba’da magrib tanggal 14 Nopember 2009. Tentu saja aku kaget bercampur bingung mencari jawaban yang tepat untuk anak yang baru berusia 8 tahun. Sambil aku pegang tangannya aku jawab dengan bersahaja, …”untungnya …. Qisthy kadang Bunda mandikan…. Bunda suapi kalau lagi malas makan sendiri… “ belum selesai aku menjawab dia menyahut.. “bukan itu Bun!”… “terus apa dong” sahutku…. “Aku tidak tahu” jawab Qisthy. Dan sampai saat ini aku belum dapat memberi jawaban yang memuaskan padanya.

Apa yang hendak disampaikan oleh anak sesuai Qisthy dengan pertanyaan spontan seperti itu. Sebuah pertanyaan yang cukup mengejutkan membuat aku termenung dan terus penasaran mengapa muncul pertanyaan itu atau dari mana dia mendapatkan ide untuk bertanya seperti itu.

Saat kelas 2 SD, hampir seminggu Qisthy mogok sekolah, alasannya tidak bisa bahasa Inggris; maklum dia sekolah di SD SBI (sekolah bertandar internasional) yang berafiliasi ke Cambridge University dimana bahasa Inggris digunakan sebagai pengantar dalam proses belajar mengajar, modul dan worksheet disajikan dalam bahasa Inggris. Sementara lingkungan keluarga dan masyarakat dimana dia tinggal menggunakan bahasa Indonesia dan atau jawa sebagai bahasa pengantar, sehingga tidak mendukung kebutuhan keterampilan bahasa Inggrisnya. Mungkin ini salah satu yang membuat dia stress dan akhirnya mogok sekolah.

Sebagai ibu, tentu aku tidak ingin melihat putriku bersedih apa lagi stress, maka saat dia tahu mau sekolah, aku ijinkan dia tidak masuk sekolah, aku pikir buat apa anak berangkat ke sekolah kalau suasana hatinya tidak nyaman? Bagiku sekolah haruslah merupakan tempat yang nyaman bagi anak untuk belajar, tolok ukurnya adalah ketika anak hendak berangkat sekolah dia bersemangat dan pulang dengan hati senang, karena hasil akhir dari proses belajar adalah pencerahan dan hasil dari pecerahan adalah rasa bahagia. Sehingga kalau hal itu tidak dirasakan oleh anak ketika sekolah, maka sesunguhnya dia tidak belajar.

Beberapa hari aku dampingi Qisthy dirumah melakukan apa saja yang dia mau; mewarna, main piano, menyiram bunga, memberi makan ikan dan lain-lain, kemudian tiba saatnya aku mengatakan sesuatu, “ Qisthy… harus tahu bahwa Qisthy tidak bodoh… kalau sekarang Qisthy merasa kesulitan mengikuti pelajaran tidak apa-apa, tidak penting berapa nilai yang Qisthy peroleh yang penting Qisthy merasa senang saat belajar dan terus mau belajar..” kemudian dengan suara agak bergetar dia berkata, “Bagaimana kalau Qisthy tidak naik kelas 3?”… “Ya .. tidak apa-apa “ dengan cepat dan spontan aku menjawab. “Benar tidak apa-apa kalau Qisthy tidak naik kelas? Seraya tidak percaya dia mengulang pernyataanku. “Iya… tidak apa-apa” aku tegaskan sikapku sambil aku peluk dia.

Luar biasa, pembicaraan singkat itu berdampak positif di kemudian hari. Saat pembagian raport akhir tahun Qisthy dinayatakan naik kelas dengan pedikat excellent dan yang paling mengejutkan adalah ada seorang ibu salah seorang wali murid teman Qisthy yang bertanya apakah Qisthy ikut les di luar jam belajar di sekolah, aku jawab bahwa Qisthy tidak ikut les mata pelajaran sekolah tapi Qisthy les mewarna sesuai keinginannya. Penasaran, aku balik bertanya mengapa si ibu menduga Qisthy ikut les, ternyata sebelum aku datang, guru wali kelas menyampaikan di forum orangtua murid bahwa Qisthy satu-satunya anak dikelas 2 yang mengalami peningkatan hasil belajar yang cukup signifikan pada semester ini.

Anakku, mungkin itu jawaban atas pertanyaanmu. Beruntung kamu punya ibu yag tidak pernah menanyakan berapa nilai ulanganmu hari ini dan tidak mempermasalahkan berapapun nilai yang kamu peroleh, ibu yang tidak pernah peduli kamu rangking berapa di kelas, ibu yang mengijinkan kamu tidak masuk sekolah bila kamu tidak merasa nyaman belajar di sekolah hari itu, ibu yang bersedia mendengar cerita seru yang kamu peroleh setiap pulang sekolah, ibu yang mengantar keberangkatanmu ke sekolah dengan pelukan dan bisikan “ semangat ya….Bunda sayang kamu”….


Pati, 6 Desember 2009, Pukul 23.50 Wib